Minggu, 31 Oktober 2010

Merespons Anak yang Mengalami Pelecehan Seksual

• Oleh redaksi pada Jum, 12/21/2007 - 10:15. Artikel
Oleh: Dewi Minangsari, Konselor
Suatu hari seorang guru taman kanak-kanak menelepon dan mengatakan, seorang bocah yang berumur empat tahun vaginanya dimasuki obeng. Saya sarankan untuk memeriksakannya secara hati-hati agar anak tak takut dan membicarakannya dengan psikolog.
Ketika dibawa ke dokter, tak ada tanda yang memperliharkan hal itu. Lalu, saya bertanya, bagaimana kasus ditindaklanjuti, jawaban yang saya terima adalah, “Tidak apa-apa kok”. Tampaknya saya tak dapat terlalu berharap. Saya bisa memahami mereka, tetapi resah terhadap nasib si kecil.
Kita kerap tidak siap menerima kenyataan pelecehan seksual terhadap anak. Bahkan, kalau jujur, meski kejadian itu menyentak kesadaran, kita sukar menerima kenyataan itu.
Siapa yang mau membayangkan seorang anak umur empat tahun dipaksa melakukan oral seks oleh pamannya sendiri? Untuk melindungi hati dari kisah horor tersebut, kerap orang dan membaayangkan, "Ah, andai pelecehan itu sungguh terjadi, pastilah bukan di kota ini,” atau “Itu kan hanya menimpa kalangan tertentu, bukan seperti kita-kita ini."
Semua itu tidak benar.
Pelecehan seksual terjadi di kota kita, di kampung kita, di dalam keluarga kita, bahkan di tempat yang dianggap kental nilai religiusnya, seperti di lingkungan gereja atau pesantren.


Syukurlah, media kini semakin peduli, tetapi perlu disertai kesiapan dari pihak kita untuk menyikapi. Kita perlu merespons secara bijak ketika mendengar ungkapan anak mengenai pelecehan yang dialaminya.
Inilah langkah awal yang penting. Jika respons kita salah, pelecehan tak akan pernah diungkapkan lagi dan anak-anak kita semakin menderita.

Tidak ada komentar: